Category Archives: KONTEMPORER

Teologi Feminis

Oleh : Ira T. Utary, S.Th.

Teologi Feminis lahir sebagai reaksi protes terhadap dominasi dan penindasan terhadap kaum wanita yang berlangsung di dalam dan di luar gereja selama berabad-abad. Teolog-teolog feminis sendiri yakin bahwa pendorong gerakan mereka berakar dari pengajaran Perjanjian Baru tentang bagaimana seharusnya orang Kristen berelasi satu dengan yang lain. Model relasi orang Kristen, khususnya pria dan wanita tidak bersifat hierarki melainkan kesederajatan yang sempurna dan tidak boleh ada lagi peran dalam masyarakat, gereja ataupun di rumah yang berdasar pada perbedaan gender.
LATAR BELAKANG TEOLOGI FEMINIS
Akar sejarah teologi feminis kembali ke masa reformasi Protestan abad ke-16, Martin Luther dan John Calvin (meskipun tidak pro feminis) dengan dasar Alkitab mengajarkan bahwa baik pria dan perempuan diciptakan dalam gambar Allah dan karenanya di hadapan Allah sama. Kaum perempuan Methodist dan Quaker pada abad ke-18 diizinkan untuk mengajar dan berkhotbah dan memegang jabatan di gereja-gereja mereka.
Dalam periode pencerahan diperkuat penekanan pada kesetaraan tempat dalam masyarakat. Robert Owen memiliki visi membangun komunitas utopis di mana semua penduduk akan hidup dalam perdamaian dan kasih, semua pada pijakan yang sama. Perempuan setara dengan laki-laki dan anak-anak menikmati kesetaraan dengan orang dewasa. Pada 1920 perempuan di Kanada, Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Belanda, austria, dan serikat Soviet telah memperoleh suara.
Vatikan II memainkan peranan besar dalam dorongan feminisme. Dengan aksesi Yohanes XXIII, Gereja Katolik Roma dipimpin oleh seorang pria yang bersimpati kepada aspirasi perempuan untuk kesetaraan. Pengaruh Paus itu terlihat di dokumen Vatikan II tentang laki-laki dan perempuan .Ini juga menyatakan bahwa diskriminasi semua, termasuk diskriminasi perbedaan gender, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan maksud Tuhan.
Feminisme modern pada tahun 1960, banyak dari mereka berpendidikan dan dipengaruhi oleh cita-cita Marxis dan sosialisme, tidak mau mentolerir apa yang mereka lihat sebagai penindasan dan menjadi pendukung perubahan radikal.
Politik feminisme sebagai gerakan, sebagai aturan, isu-isu yang berkaitan dengan pekerjaan, pendidikan, dan politik membawa perempuan bersatu. Namun ada pepecahan ketika sampai ke masalah gender dan moral, menjadi :

Feminisme Liberal
Dipimpin Betty Friedan, tujuannya menemukan kesetaraan hak dan kesempatan kerja, awalanya dari orang-orang berpendidikan, ibu-ibu rumah tangga, kelas menengah keatas. Mereka tidak anti laki-laki bahkan memasukkan dalam keanggotaan. Ketika beberapa begitu ekstrim mereka terkejut. Prinsip mereka semua orang diciptakan sejajar dan seharusnya memiliki kesempatan yang setara, dan mereka menyadari itu terjadi pada kaum wanita, sehingga mereka menuntut itu segera dilakukan. Kelompok ini mengingikan perubahan melalui cara-cara yang moderat

Feminisme Sosialis Marxis
Mengikuti pandangan Marxis, yang diperjuangkan bukan anti perbedaan gender, tapi anti kelas dan anti kapitalis. Dalam pekerjaan mendapat gaji yang sama, kesempatan kerja. Idealnya sama rata, sama rasa. Pernikahan dianggap penghalang.
Feminisme Radikal
Menganggap semua laki-laki musuh (anti pria), kebencian mereka pada pria membuat manifesto SCUM. Mereka menyamaratakan bahwa pria hanya menganggap mereka obyek seksual belaka. Sampai ke lesbi sebagai balas dendam kepada pria.
Tokoh-tokoh Feminisme
1. Letty M. Russell : Guru besar teologia praktika di Yale, 1985 ditahbiskan menjadi pendeta gereja Presbitarian USA, aktif di komisi Faith and Order Dewan gereja Nasional dan Dewan gereja Dunia.
2. Rosemary Radford Ruether : Gelar Phd dari Claremont Graduate School, California. Bergabung dengan Russell beralih dari model penafsiran sebelumnya dominan dengan dualisme seksual-eklesia-kultural pada sebuah hermeneutic kritis tentang budaya.
3. Mary Daly : Kecewa dengan konsili vatikan II yang tidak diperhatiakan, bertekad memperbaharui status perempuan dalam gereja dengan visi baru.
4. Elizabeth Schussler Florennza : Frofesor Universitas Harvard, penulis buku dan artikel yang membahas teologi feminis.
5. Kwok Pul Lan : Tokoh feminis Asia.
6. Marianne H. Katoppo : Mendirikan Forum Demokrasi (1991) bersama Gus Dur. Memilih teologi perempuan sebagai teologi pembebasan.
TEOLOGI FEMINIS
Pandangan yang merendahkan wanita bukan hanya ada di luar kekristenan. Di dalam gereja sendiri, tragisnya, sering kali wanita dipandang sebagai harta milik, objek, polusi yang membahayakan, dan yang paling keras adalah, wanita dinilai tidak mampu menjadi gambar Allah sehingga mereka dilarang untuk menjadi pemimpin, pengkhotbah dan pengajar dalam ibadah maupun pelayan di gereja.
A. Pandangan Terhadap Alkitab
Kalau kita berbicara mengenai teologi seseorang atau sekelompok orang maka salah satu pertanyaan yang penting dan perlu diajukan adalah bagaimana pandangan orang atau kelompok orang tersebut terhadap Alkitab? Apakah Alkitab diterima sebagai firman Allah yang berotoritas? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut setidaknya menunjukkan corak teologi yang dianut seseorang atau sekelompok orang tersebut.
Hermeneutik Feminis 1. Mengikuti Teologia pembebasan, dan mereka memakai argumen baik pria wanita harus menyadari bahwa esensi iman Kristen adalah penggilan kenabian untuk membebaskan mereka yang tertindas. 2. Menafsirkan ulang ayat-ayat yang disepelekan/didistorsi kelompok patriakal. 3. Kelompok yang menolak kanon, karena Alkitab adalah produk golongan patriakh.
Karena itu Teologia Feminis bukan hanya terlibat dalam satu reformasi pada satu waktu yang baik di masa lalu, satu periode asli yang tanpa cacat, karena periode seperti itu yang bisa ditemukan untuk wanita baik dalam tradisi Kristen Yahudi atau sebelumnya. Bahkan bagi mereka yang menganggap diri sebagai kelanjutan Teologi Feminis harus berdiri sebagai satu mazab baru atau perjanjian ketiga, yang … memulai satu permulaan baru dimana kepribadian seorang wanita tidak lagi dipinggirkan tetapi ada di pusat.
Feminis dan Allah
Karena konteks kultural Allah dibatasi sebagai pria, istilah Allah Bapa bukan “She” sehingga kaum feminis banyak menterjemahkan nama-nama dan karakter-karakter Allah yang diidentifikasikan dengan wanita.
Kristus dan keselamatan
Secara umum yang aliran utama masih menerima Kristus sebagai yang mewakili Allah. Menggarisbawahi hubungannya yang unik dengan Allah dan manusia,: sebagai Allah yang adalah kasih yang melayani yang lain, dasar hubungan yang sejati yang didalamnya kita adalah patner dengan Allah dalam membebaskan dunia ini, tapi juga patner dengan yang lain dalam mengalahkan ikatan ras, gender dan kelas.
Yesus dalam sejarah menarik bagi banyak wanita karena menolak kemapanan patriakhal di jamanNya. Dia dengan terbuka menerima orang-orang yang tertindas dan terbuang-para pemungut cukai, pelacur, orang samaria, sakit kusta dan wanita.
Roh Kudus
Banyak pembela hak-hak wanita menemukan bahwa mereka merasa paling nyaman dengan pribadi ketiga dari Tritunggal, yaitu Roh Kudus, mereka sering bicara tentang Roh Kudus dalam istilah feminisme, mereka mengasosiasikan Roh Kudus dengan prinsip-prinsip hikmat yang dalam kitab Amsal bergender feminim. Roh Kudus dikenal sebagai pribadi yang membimbing, menghibur dan memelihara seperti seorang ibu yang penuh perhatian dan kasih.
Antropologi Feminis
Alkitab mejelaskan baik pria maupun wanita diciptakan segambar dengan Allah (Kej. 1:26-27). Banyak kaum feminis mengikuti teologi liberal dalam pandangan mereka tentang dosa.
Wanita dan Gereja
Dari dulu sampai sekarang masih banyak gereja yang tidak jelas posisinya dalam batasan peran wanita dalam Gereja, sementara kaum feminis menuntut kesetaraan gender yang seluas-luasnya. Berepapa tokoh yang anti feminis beralasan secara historis gereja tidak pernah mentabiskan wanita. Tanggapan feminis di dalam Perjanjian Baru bicara tentang beberapa wanita yang memegang peran kepemimpinan wanita yang penting, seperti Febe seorang diakon dan administrator Roma 16:1-2, Roma 16:7 Yunias seorang rasul, Priskila seorang guru penting.
Kelompok Feminis Teologi Radikal
Mereka menolak iman Kristen dan menganggap sejak kelahirannya Gereja telah mnendiskriminasikan wanita, mereka mendukung pengganti Teologi Kristen satu bentuk baru yang berasal dari pengalaman wanita dan menggantikan Allah dengan “dewi”, kelompok lain menghubungkan dengan sihir dan panteisme.
Kelompok Feminis Injili
Mereka tidak membuang sejarah iman Kristen, mereka menerima Alkitab sebagai Firman Allah yang berotoritas. Secara doktrin mereka injili. Mereka mengikuti gerakan feminisme tetapi tidak keluar dari batasan Alkitab, mereka ingin menjadi pribadi yang penuh. “kami meminta hak kami untuk dapat menentukan pilihan sendiri untuk menentukan hidup kami sendiri, bukan berdasarkan motivasi yang mementingkan diri sendiri tetapi karena Allah memanggil kami dan memerintahkan untuk Mengembangkan karunia yang telah diberikan pada kami.” Bagi mereka Galatia 3:28 haruslah menjadi fakta yang praktis.

B. Metode Teologi Kaum Feminis
Dengan pandangan yang cukup negatif tentang Alkitab timbul pertanyaan: berita positif apa yang terdapat dalam Alkitab bagi para feminis? Alkitab bukan saja merupakan “the liberating word tetapi juga harus menjadi the liberated word”. Apa yang ia maksud dengan the liberated word? The liberated word berarti Alkitab dibebaskan dari cara pandang patriarkhal. Caranya adalah dengan membuang semua budaya patriarkhal yang telah membelenggu teks-teks Alkitab, untuk menemukan berita pembebasan kaum wanita.
Alkitab harus dilihat sebagai tradisi profetik-mesianis, yakni melihat Alkitab dari perspektif kritis, di mana tradisi biblikal harus terus-menerus dievaluasi ulang dalam konteks yang baru. Kaum feminis tidak hanya dipanggil untuk memberitakan berita penghakiman (profetik), namun ada juga unsur mesianisnya, artinya ada kabar “keselamatan” bagi kaum wanita, yakni pembebasan dari ketidakadilan, tradisi profetik-mesianik ini menjadi ukuran atau norma untuk menilai teks-teks Alkitab yang lain.
Alkitab diinspirasikan oleh Allah dalam pengertian bahwa di dalam dan melalui kata-kata yang digunakan oleh penulis Alkitab, Allah memberikan firman-Nya. Allah memakai manusia yang terbatas untuk menyatakan kehendak-Nya. Firman Allah sempurna tetapi manusia, sebagai penulis Alkitab, terbatas. Jadi, ada peluang bagi ketidaksesuaian antara firman Allah yang kekal dan kata-kata yang digunakan oleh para penulis Alkitab. Atau dengan kata lain, Alkitab bersifat falibel serta tunduk pada keterbatasan manusia dalam menuangkan maksud Allah dalam kata-kata.
Para feminis juga berpendapat bahwa Teologi harus merupakan gabungan antara pertanyaan budaya kontemporer dan jawabannya, di mana jawaban tersebut ditentukan oleh latar belakang budaya kontemporer (budaya pada waktu pertanyaan tersebut dilontarkan). Pada masa kini, situasi budaya ke mana tradisi Kristen itu harus dihubungkan adalah bertumbuhnya kesadaran wanita atau pengalaman kaum wanita di gereja. Oleh karena itu, pengalaman kaum wanita harus menjadi sumber dan norma bagi teologi Kristen kontemporer yang serius.
C. Dasar Alkitab
Bagian Alkitab yang paling sering dikutip oleh teolog-teolog feminis dan diklaim sebagai dasar teologi mereka, yang juga dikenal sebagai magna carta of humanity adalah Galatia 3:28 yang berbunyi: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” Galatia 3:28 dipandang sebagai ayat yang membebaskan wanita dari penindasan, dominasi dan subordinasi pria. Bagian-bagian lain yang juga berbicara tentang kesederajatan adalah: Kejadian 34:12; Keluaran 21:7, 22:17, Imamat 12:1-5; Ulangan 24:1-4; 1 Samuel 18:25 yang berbicara bahwa wanita dan pria memiliki status sosial yang sama; Hakim-hakim 4:4, 5:28-29; 2 Samuel 14:2, 20:16; 2 Raja-raja 11:3, 22:14; Nehemia 6:14, adalah ayat-ayat yang memperlihatkan bahwa wanita memiliki tempat dalam kehidupan religius dan sosial bangsa Israel, kecuali dalam hal keimaman; sedangkan dalam Kejadian 1:27 dikatakan bahwa wanita dan pria adalah makhluk yang sama-sama diciptakan menurut gambar dan rupa Allah.
EVALUASI
Teologi Feminis telah memberikan kontribusi yang sangat besar baik bagi Gereja dan juga terutama bagi kaum wanita. Namun, di samping sumbangsih yang diberikannya, tidak dapat dipungkiri bahwa teologi ini juga problematik. Teolog-teolog feminis beranggapan bahwa Teologi mereka bersumber atau berdasar pada Alkitab, firman Allah yang diinspirasikan. Namun ternyata yang dimaksud dengan diinspirasikan Allah menurut mereka tidak sama dengan yang diyakini oleh iman tradisional. Inspirasi menurut iman Kristen tradisional berarti pimpinan Roh Allah secara supernatural dalam pikiran para penulis Alkitab yang menjami otoritasnya. Akan tetapi, inspirasi menurut feminis tidaklah demikian. Yang dimaksud dengan inspirasi adalah bahwa Allah menyampaikan firman-Nya di dalam dan melalui kata-kata manusia yang bisa saja salah. Bagi para feminis, inspirasi tidak menjamin otoritas Alkitab. Alkitab bisa saja salah, berkontradiksi dan tidak konsisten karena adanya unsur keterbatasan manusia. Dengan demikian, bagi para feminis Alkitab tidak lebih dari “sumber” yang otoritasnya ditentukan oleh pembacanya, dalam hal ini adalah wanita. Alkitab bukan sumber yang normatif dan berotoritas karena yang menjadi norma adalah pengalaman dan perjuangan kaum wanita untuk mencapai kebebasan kemerdekaan dan kebebasan. Pandangan demikian jelas tidak benar. Jika kita mendapat Alkitab yang falibel dari manusia yang juga falibel, lalu bagaimana kita menentukan mana yang benar dan mana yang salah? Yang cukup menggelikan adalah, bagaimana mungkin teolog-teolog feminis menolak otoritas Alkitab, tetapi pada saat yang bersamaan mereka juga menggunakan Alkitab yang berotoritas sebagai dasar teologi mereka?
Teologi feminis berpijak bukan pada firman Allah melainkan pada pengalaman kaum wanita yang tertindas. Jadi dapat disimpulkan bahwa teologi ini bersifat eksistensialis karena lebih berpusat pada diri manusia daripada Allah. Teologi ini juga bersifat subjektif karena dipengaruhi oleh kepentingan dan keprihatinan terhadap wanita yang akhirnya mendistorsi berita itu sendiri, teologi feminis dapat dikategorikan sebagai teologi protes.
Dalam teologi “protestan,” baik melawan penindasan ekonomi, gender ataupun ras etnis minoritas, akan ada bahaya bila kita hanya tertarik pada isu-isu yang dikemukakan dan lepas dari pusat teologi Kristen, yaitu Allah yang menyatakan diri dalam Kristus. Bahaya yang ada misalnya, jika kita tidak lagi mengakui iman kita bahwa Yesus adalah Tuhan karena Ia adalah laki-laki dan laki-laki adalah musuh, atau memandang Tuhan Yesus tidak lebih dari seorang revolusioner.
Seperti mata uang, teologi feminis juga memiliki dua sisi. Di samping yang negatif ada juga hal-hal positif yang dapat kita petik dari teologi ini. Memang tidak dapat disangkal bahwa penindasan terhadap wanita sudah berlangsung begitu lama dan melukai banyak wanita. Usaha para teolog feminis untuk kembali meneliti Alkitab memberikan sumbangsih yang sangat besar. Lepas dari subjektivitas penafsiran mereka, kita melihat bahwa Allah menciptakan manusia (baik pria maupun wanita), memiliki derajat yang sama sebagai gambar dan rupa-Nya.
Sumbangsih teologi feminis juga terasa di dalam gereja. Selama ini tidak sedikit gereja yang melarang wanita untuk ambil bagian dalam pelayanan. Makin bertumbuhnya gerakan kaum wanita, mau tidak mau memaksa gereja dan para teolog untuk kembali melihat apa yang dikatakan Alkitab mengenai peran wanita dalam gereja. Sedikit demi sedikit gereja mulai membuka diri terhadap sumbangsih yang bisa diberikan oleh kaum wanita. Di lingkungan gereja di Indonesia, ada gereja tertentu yang dulunya “mengharamkan” pelayanan atau jabatan tertentu bagi wanita, tetapi saat ini ada cukup banyak gereja yang membuka diri terhadap wanita. Ada gereja-gereja tertentu yang mulai memberi kesempatan bagi jemaat wanitanya untuk ambil bagian dalam pelayanan atau gereja yang menahbiskan rohaniwatinya ke dalam jabatan pendeta, suatu hal yang dulunya jarang terjadi, karena tidak sedikit wanita Indonesia pada masa kini yang memiliki bakat, kemampuan dan tingkat kerohanian yang baik, bahkan juga tidak sedikit yang lebih baik dari pria. Mereka dapat melayani Tuhan sama baiknya dengan pria. Justru dengan natur pria dan wanita yang komplementer, saling melengkapi, memberikan indikasi bahwa gereja akan diperkaya dengan adanya partisipasi wanita dalam pelayanan.
Keseteraan berarti pengabolisian peran-peran yang berdasar pada gender yang ada di tengah masyarakat, gereja dan rumah tangga. Perbedaan yang cukup mencolok dari ketiga tipe tersebut adalah pandangan mereka terhadap Alkitab; Feminis Injili mengklaim bahwa mereka percaya bahwa Alkitab adalah firman yang diinspirasikan Allah dan Alkitab adalah sumber teologi mereka, sedangkan Feminis Liberal dan Radikal tidak mengklaim bahwa mereka percaya Alkitab sebagai firman yang diinspirasikan Allah.
KESIMPULAN

Gereja memiliki sejarah yang kelam dalam hubungannya dengan peranan wanita dalam gereja, sehingga menimbulkan perlawanan dalam bentuk gerakan feminis. Dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat mereka sudah mendapatkan kebebasan yang cukup.Namun di Gereja masih terkungkung dalam kedudukan mereka, sehingga menimbulkan gerakan feminis. Seharusnya ini mendoromg gereja menanggapi lebih serius. Sementara untuk Teologi Feminis, kecuali kelompok Feminis Injili, memang sumbang karena mengangap Alkitab bukan sebagai Firman Allah tapi sebagai produk patriakhal sehingga yang terburuk mereka tidak mengakui Allah dan pewahyuan supranatural. Gereja harus menanggapi ini dengan serius dan perlu pengujian kembali ideologi baik yang dipegang Gereja maupun kelompok feminis. “Karena bagi orang-orang Kristen semua ideologi harus diletakkan dan secara terus menerus diuji di dalam terang Injil”.

DAFTAR PUSTAKA

Conn, Harvey M, Teologi Kontemporer, (Malang: SAAT), 1999
Hadiwijono, Harun, Teologi Reformatoris Abad ke 20, (Jakarta: BPK GunungMulia), 1993
Hommes, Anne, Perubahan Peran Wanita Dan Pria Dalam Gereja Dan Masyarakat, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1992
Ling Ing Sian, Sebuah Tinjauan Terhadap Teologi Feminis Kristen, (http://www.seabs.ac.id/journal/oktober 2003)
Lumintang, Stevry Indra, Theologi Abu-abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas), 2009
Stott, John, Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF), 1984

Teologi Paradoksal

TEOLOGI PARADOKSAL

oleh: Hery Susanto, M.Th.

Dalam bagian ini akan dibahas sebuah gagasan teologi baru yang sesuai dalam perkembangan Dekade II abad XXI. Teologi ini dinamakan teologi paradoksal yaitu sebuah teologi yang mencoba memahami gejala sekularisme pada satu sisi dan gejala mistisisme pada sisi lain, dengan menawarkan sebuah pemahaman jalan tengah sehingga perbedaan dua kutub yang paradoks dapat ditemukan dengan dasar Alkitabiah.

II.1. Latar Belakang

Dalam percakapan Yesus dengan Nikodemus, Yesus mengatakan bahwa seseorang harus dilahirkan kembali agar bisa masuk Kerajaan Allah (Yoh. 3:3), apa yang dilahirkan dari daging, adalah daging, dan apa yang dilahirkan dari Roh, adalah Roh (Yoh.3:5).  Kalimat pernyataanYesus tersebut melukiskan keberadaan dua aspek dalam hidup manusia yang terpisah antara yang jasmani dan rohani, sekuler dan spiritual. Istilah ‘daging’ yang digunakan di sini mengacu kepada keinginan hawa nafsu manusia atau dalam bahasa modern adalah sekulerisme, sedangkan dilahirkan dalam Roh mengarah kepada pembaharuan budi yang tertju kepada Allah atau aspek spiritualitas manusia.

Kedua sisi itu kadang kala menjadi problem dalam perkembangan peradaban manusia yang semakin maju karena tuntutan hidup yang semakin kompleks dan menuntut manusia berpikir semakin keras, dapat membuat manusia lupa akan aspek yang satunya yaitu spiritualitas. Manusia terlalu membanggakan kemampuan akal budinya dan usaha kerasnya, bahkan terdapat kecenderungan untuk menggunakan agama sebagai kedok untuk mendapatkan manfaat secara jasmani atau kedagingan. Dalam hal inilah diperlukan teologi  yang bisa menengahi dua sisi ini sehingga manusia dapat berjalan secara imbang.

II.1.1. Teologi dan Sekularisasi

Sekularisasi sudah terjadi dalam jaman Raja Salomo, di mana bangsa Israel dipaksa untuk membangun proyek besar dan beban pajak yang sangat berat. Mereka bekerja keras untuk mewujudkan visi dan misi Salomo, hingga pada masa anaknya, hal itulah yang membuat mereka berkeluh kesah dan minta keringanan, namun justru beban hidup semakin diperberat ( I Raja 12:4). Ini adalah sebuah contoh kondisi kehidupan mereka yang sangat berbeda dengan masa Musa hingga Daud. Kehidupan agamis dipertahankan dan mereka berusaha untuk mematuhi hukum Taurat di tengah kehidupan sehari-hari mereka (Ulangan 6:1-9).

Dalam perkembangannya, umat Israel semakin jauh dari kehidupan yang agamis karena tekanan politik dari Asyur dan Babil. Mereka tidak mendapat kesempatan atau kebebasan untuk beribadah kepada Allah YAHWEH (2 Tawarikh 36:17-21).  Umat Israel dipaksa untuk bekerja paksa dan mengikuti pola agama yang baru.

Di tengah situasi yang tidak mendukung peribadahan itulah para nabi menyampaikan pesan Allah yang menyuarakan pertobatan dan pengharapan asalkan mereka mau berbalik kepada Allah. Hasrat lama untuk kembali kepada Tuhan mulai terasa di tengah masa-masa sulit mereka. Mereka sangat merindukan tempat peribadahan mereka di Yerusalem dan tata ibadah yang pernah mereka lakukan.

Efek tersebut berlanjut hingga masa Perjanjian Baru, di mana orang-orang Farisi, Saduki, dan kelompok Yahudi lainnya masih tetap memegang tradisi keyahudian berkaitan dengan pola agamis yang sangat ketat. Sementara itu Yesus mengajarkan berbagai macam pengajaran yang dapat mengakomodir kebutuhan mereka akan kehidupan spiritual di tengah kehidupan sehari-hari mereka atau sekuler.  Yesus mengajarkan hukum kasih yang praktis dan bisa dilakukan dengan sangat fleksibel, jika dibandingkan dengan kekakuan aturan dalam taurat. Yesuspun menjadi teladan dalam menempatkan kehidupan rohani dan kebutuhan hidup sekuler dalam sebuah tatanan yang seimbang, bukan berkontradiksi.

Jika dilihat apa yang terjadi dengan trend abad XXI, di mana kecenderungan manusia untuk semakin sekuler dan plural justru membawa kepada penemuan spiritual yang berbeda dengan apa yang Tuhan maksudkan.  Salah satu contohnya adalah mengartikan pola tabur tuai sebagai sebuah doktrin yang mengimani bahwa semakin banyak memberi  maka akan semakin diberkati. Di satu sisi hal itu benar adanya, tapi jika dikaitkan dengan berkat jasmani yang menjadi motivasi utamanya, maka hal itu menjadi kurang tepat.  Yesus justru mengatakan, “Apa yang kau ikat di bumi akan diikat di surga dan apa yang kau lepaskan di dunia akan dilepaskan Tuhan di surga”.  Jadi pemikiran teologis dan sekularisme harus diletakkan dalam posisi yang beririsan. Maksudnya tidak tepat jika segala hal teologis menjadi sangat sekuler, dan sebaliknya hal yang sekuler dicari pembenaran teologisnya untuk mendukung apa yang dilakukan.  Hal ini menjadi pergumulan orang Kristen masa kini yang sulit untuk melihat batasan-batasan sekuler ataupun teologis.  Teologi cenderung digunakan untuk memberikan dukungan terhadap sekularisme.

II.1.2. Teologi dan Mistisism

Di sisi lain ditemukan gejala mistisism semakin tumbuh subur di dekade II abad XXI. Manusia tidak mampu menemukan jawaban yang memuaskan mengenai hal yang relatif dan mutlak.  Segala sesuatu menjadi relatif dan tidak pasti. Manusia mencoba mencari jalan keluar sendiri-sendiri. Akibatnya muncullah ajaran-ajaran neo-animism dan neo- dinamisme yang dulunya dianggap tidak relevan, sekarang malah banyak diminati karena manusia dapat menemukan Allahnya sendiri sesuai dengan apa yang diinginkannya.

Pemahaman imanensi Allah lebih ditonjolkan untuk memberikan rasa aman dan damai sejahtera.  Perasaan itu dapat digali melalui upaya meditasi, kontemplasi, yoga, sugesti positif dan masih banyak lagi bentuk mistisim yang berkembang.  Rasionalisme manusia mencoba menangkap fenomena spiritual secara ilmiah dan metafisis.  Pemahaman mengenai teologi sangat menonjolkan unsur metafisis untuk tujuan kedamaian dan kesejahteraan diri sendiri. Sebagaimana dinyatakan Daniel Lukas Lukito bahwa bahaya dari bangun teologi semacam ini adalah menghilangkan setiap aspek transendensi Allah dan mereduksi Allah yang transenden ke dalam hal-hal praktis, bahkan cenderung disamakan dengan dunia. Sifat kemahakuasaan dan supernatural Allah tidak diterima di dalam lingkup imanensi.[1]

Sesungguhnya gerakan mistisism tidak pernah hilang sepanjang sejarah manusia. Dari ketidaktahuan manusia dan rasa keingintahuan tentang apa yang benar membawa manusia memasuki dimensi baru yaitu supranatural. Secara teologis hal filosofis seperti ungkapan, “Aku di dalam kamu dan kamu di dalam Aku” diartikan secara metafisis, sehingga  menemukan bahwa manusiapun bisa menjadi ‘seperti Allah kecil’ melalui penggalian mendalam ke dalam diri sendiri. Yesus menjadi bagian dari sebuah ide tentang hal yang ilahi dan tidak perlu di pertanyakan secara historis maupun keberadaannya, karena dianggap bahwa sekarang manusiapun dapat menghadirkan Tuhan Yesus kapanpun mereka menghendaki. Kisah penyaliban Yesus tidak perlu diperdebatkan karena secara esensi dapat dikatakan bahwa penyaliban Yesus hanya merupakan contoh kasih yang besar dan pada masa sekarang dapat ditemukan dalam kegiatan mistisisme.

Secara umum, di dalam setiap agama atau kepercayaan mengandung unsur mistis yang mampu membuat manusia percaya apa yang diyakininya (imanensi).  Menurut historis, agama muncul dari budaya timur yang sarat dengan unsur mistis sehingga ketika agama itu dibawa ke budaya barat yang cenderung rasional, mengalami perubahan yang bersifat logis kritis dan ilmiah.  Namun pada masa sekarang budaya barat justru ingin mengembalikan agama Kristen ke dalam budaya timur, dan mereka mencoba mendekatinya dengan cara timur, muncullah teologi-teologi baru seperti Creation Spirituality, Christian Science, Taize, dan masih banyak lagi. Mistisisme dalam budaya timur berkembang subur karena  filosofi di dalamnya banyak yang sesuai dengan teologi di dalam Alkitab (paling tidak ada hal-hal yang bisa dijelaskan lebih jelas keika didekati dengan filosofi mistisism).

II.2. Definisi Teologi Paradoksal

Istilah paradoks berasal dari bahasa Inggris ‘paradox’ yang berarti suatu situasi yang melibatkan dua ide atau kualitas yang sangat berbeda. Pengertian yang kedua adalah sebuah pernyataan yang nampaknya tidak mungkin dapat diwujudkan karena terdiri atas dua ide yang yang saling berlawanan tetapi sama-sama benar.[2]

Dari definisi di atas dapat ditarik sebuah pengertian teologi paradoksal, yang berarti sebuah pengetahuan mengenai Allah dan karya-Nya terhadap manusia secara holistik baik dari aspek spiritual maupun sekuler, jasmani maupun rohani yang saling bertolak belakang satu sama lain. Semakin sekuler maka kerohanian menjadi makin lemah sedangkan ketika semakin rohani, kadang kala mereka tidak lagi mau bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya/ malas secara sekuler. Tipe orang semacam ini lebih mengandalkan kepercayaannya sehingga ia merasa bahwa Allah yang Mahabaik itu akan tetap mencurahkan berkat-berkat tanpa perlu berusaha keras.

Contoh paradoks dalam ajaran Yesus terdapat di dalam Matius 10: 39; Barangsiapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya, di dalam Lukas 22: 26; …….yang terbesar di antara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan, dan masih banyak lagi perkataan Yesus yang bersifat paradoks.

II.2.1. Pengertian paradoks

Mengutip pemikiran Otto Eissfeldt, ia mengatakan bahwa,” The tension between absolute and relative, between transcendence and immanence, is the current problem theology.” (tegangan antara absolut dan relatif, antara transenden dan imanensi, menjadi masalah teologi yang sering dihadapi).[3]

Tegangan itu terjadi karena ada pemisahan konsep antara absolut dan relatif yang seakan-akan berada pada dua kutub yang berbeda dan tidak dapat dipersatukan. Pemisahan antara konsep Allah yang transenden dan keberadaan-Nya yang imanen juga menjadi masalah yang menentukan jenis teologi yang akan dikembangkan.  Jika landasan berpikirnya adalah transendensi maka menghasilkan teologi yang ortodoks atau fundamental, sedangkan jika landasannya imanensi maka hasilnya adalah teologi karismatik dan menjurus ke arah mistisism.

Ajaran Tuhan Yesus dalam Alkitab juga menggambarkan paradoks antara kehidupan sekuler di dunia dan kehidupan kekal yang dijanjikan Tuhan. Sebagai contoh adalah dalam percakapan antara Yesus dengan seorang Farisi yang merasa sudah melakukan semua hukum Taurat namun Tuhan Yesus berkata bahwa ia harus menjual semua miliknya dan membagi-bagikan kepada orang yang membutuhkan dan mengikuti Dia (Matius 9:16-26).  Nampaknya ada kesan bahwa untuk menjadi murid Yesus diperlukan sebuah keberanian untuk tidak bergantung kepada apa yang ia miliki, tapi justru rela kehilangan semua yang dimilikinya.

Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah apakah dengan perbedaan konsep yang saling bertolak belakang tersebut benar-benar tidak dapat dipersatukan?  Jawabnya adalah dapat.  Paradoks yang terjadi di dalam teologi tersebut tidak boleh dilihat sebagai suatu hal yang bertentangan tetapi justru dua sisi yang harus berjalan seimbang.  Yesus tidak pernah mengajarkan hal yang tidak mungkin dijangkau oleh manusia. Yesus  mengajarkan agar setiap manusia tidak meninggalkan hidup sekulernya, tetapi mengutamakan kehidupan ‘kerajaan surga’ maka segalanya akan ditambahkan kepadanya.

II.2.2. Reposisi paradoks dalam berteologi

Sejak semula manusia dipenuhi oleh rasa keingintahuan yang besar sehingga manusia berusaha untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguh-sungguhnya. Hal itulah yang kemudian membuat manusia berfilsafat. Filsafat menjadi dasar dari segala macam ilmu pengetahuan, termasuk teologi.  Teologi yang dibangun atas dasar berfilsafat tidak dapat melihat secara utuh dua sisi paradoks karena dasar pemikiran pragmatis yang memisahkan hal yang ideal dan empiris, memisahkan hal sekuler dengan hal yang supranatural . Sebagai contoh: Thomas J.J. Altizer, William Hamilton, Gabriel Vahanian dan Richard Rubenstein yang mendukung teologi sekulerisasi sampai memandang bahwa konsep Allah mati dalam dunia modern merupakan suatu kebenaran ontologis dan metafisis yang sesuai dalam dunia modern.[4]  Di sisi lain adalah lahirnya gerakan New Ages Movement yang mengajarkan manusia menemukan di dalam dirinya sendiri terdapat Allah dan alam semesta (pantheism)[5], dan Creation Spirituality yang dikembangkan oleh Matthew Fox telah mendapatkan banyak pengikut dengan memanfaatkan multimedia lewat internet dan aksesnya dapat mendunia. Ajarannya mengubah paradigma pengikutnya untuk menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri (panentheism)[6].

Analogi yang dapat dibuat untuk menggambarkan hal ini adalah seseorang yang melihat sesuatu dengan mata satu.  Tuhan mengaruniakan dua mata agar kita dapat melihat secara utuh dan terfokus. Jika kita menutup salah satu mata kita, pandangan yang dihasilkan tidak akan sempurna.  Oleh sebab itu kedua mata tersebut seharusnya tetap dapat berjalan seiring agar dapat memberikan gambaran utuh yang lebih baik.

Konsep Paradoks yang seolah-olah berada pada dua garis yang berbeda harus dapat disatukan dalam sebuah teologi yang balance. Dr. Stephen Curkpatrick mengatakan bahwa reposisi paradoks dalam berteologi adalah seperti “lingkaran terpelintir” di mana sisi luar dapat bertemu dengan sisi dalam dan sisi dalam bertemu dengan sisi luar dalam sebuah lingkaran. Inside-outside dan outside-inside dalam satu hubungan yang tidak terputus.[7]

Kedua analogi tersebut dapat menjadi sebuah inspirasi bagi para teolog untuk mempertimbangkan keharmonisan dan kedisharmonisan pemikiran teologis dari berbagai perspektif agar memberikan sebuah pemahaman yang komprehensif dan lengkap. Sumber teologi yang berasal dari sumber utama Alkitab, harus dilengkapi dengan sumber lain yaitu bentukan teologi yang sudah jadi dengan dasar budaya lokal, tradisi, kepercayaan. Untuk itu perlu dipertimbangkan  bahwa tugas utama teologi adalah mengungkapkan jati diri suatu komunitas orang percaya dan menolongnya menghadapi perubahan sosial yang dialami oleh komunitas itu.[8]

Jadi dalam Teologi Paradoksal ini sekularisme di dalam mistisisme dan mistisime di dalam sekularisme menjadi satu rangkaian yang tak terputus.  Dalam situasi tertentu ia dapat menunjukkan sisi sekularisnya lebih menonjol tanpa meninggalkan sisi religius atau kerohaniannya. Pada kesempatan yang lain, kerohaniannya lebih menonjol tanpa meninggalkan aspek sekuler di dalam hidupnya. Dengan demikian ia dapat menerapkan teologi dalam kehidupan di dunia dengan seimbang.


[1] Daniel Lukas Lukito, “Kecenderungan Perkembangan Pemikiran Abad 21- Sebuah Kajian Retrospektif dan Prospektif” dalam Jurnal Teologi dan Pelayanan VERITAS, I No. 1, April 2000, hal. 3-6.

[2] Douglas Biber. Longman Dictionary of Contemporary English. England: Pearson Education Limited, 2003. Hal. 1193.

[3] Ben.C. Ollenburger, Elmer A. Martens, Gerhard  F. Hasel. The Flowering of Old Testament Theology. Indiana: Eisenbauns, 1992. Hal. 20.

[4] David.L. Smith, A Handbook of Contemporary Theology.  Grand Rapids: Bakers Book, 1992. Hal. 169-172

[5] Ibid. Hal. 283-284.

[6] Ibid. Hal. 292.

[7] Stephen Curkpatrick. Articles from journal of Contemporary Theology.  www.cctc.au. Diakses pada tanggal 28 Januari 2011.

[8] Robert. J. Schreiter. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta: BPK. Gunung Mulia,1993. Hal. 72.